DINDING PESANTREN TAK MEMBUAT JERA

Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang bisa menerka. Dan siapa sangka kalau sosok Mas Liong Bie memiliki beragam cerita yang akhirnya dapat membentuknya menjadi sosok yang mau membantu sesama yang membutuhkan.

Ditilik dari keturunan, darah kedua orang tuanya pula yang mempengaruhi kejiwaan pria kelahiran Bogor yang bernama asli Febri Amulia Wahab ini. Meski berasal dari keluarga sederhana, ayahnya yang berasal dari Banten dan ibunya dari kasepuhan Cirebon mempunya sifat sosial yang tinggi. Dan karena dilahirkan dalam keluarga ‘orang pintar’ inilah, sejak kecil Liong Bie sudah terbiasa mengobati penyakit.

Kelebihan yang dimilikinya memang jarang dimiliki oleh anak seusianya. Meski begitu, seorang bocah tetaplah bocah yang masih haus akan dunianya. Dimana dunia seorang bocah yang penat akan keseriusan serta kerja keras yang memang menjadi milik dunia para orang dewasa. Dari sinilah lubuk hati Liong Bie kecil lebih menerima sebagai orang yang bebas serta apa adanya.

Menginjak remaja, barusah tumbuh sifatnya sebagai sosok pembrontak yang tak jarang membuat kedua orang tua kewalahan untuk mengasuhnya.

Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang bisa menerka. Dan siapa sangka kalau sosok Mas Liong Bie memiliki beragam cerita yang akhirnya dapat membentuknya menjadi sosok yang mau membantu sesama yang membutuhkan.

Ditilik dari keturunan, darah kedua orang tuanya pula yang mempengaruhi kejiwaan pria kelahiran Bogor yang bernama asli Febri Amulia Wahab ini. Meski berasal dari keluarga sederhana, ayahnya yang berasal dari Banten dan ibunya dari kasepuhan Cirebon mempunya sifat sosial yang tinggi. Dan karena dilahirkan dalam keluarga ‘orang pintar’ inilah, sejak kecil Liong Bie sudah terbiasa mengobati penyakit.

Kelebihan yang dimilikinya memang jarang dimiliki oleh anak seusianya. Meski begitu, seorang bocah tetaplah bocah yang masih haus akan dunianya. Dimana dunia seorang bocah yang penat akan keseriusan serta kerja keras yang memang menjadi milik dunia para orang dewasa. Dari sinilah lubuk hati Liong Bie kecil lebih menerima sebagai orang yang bebas serta apa adanya.

Menginjak remaja, barusah tumbuh sifatnya sebagai sosok pembrontak yang tak jarang membuat kedua orang tua kewalahan untuk mengasuhnya.

Tercatat, karena kenakalan inilah Liong Bie muda sampai menjalani studinya dengan berpindah-pindah, dari satu sekolah ke sokalah lain. Sekolah Dasarnya ditamatkan di Indramayu. Ketika menginjakkan bangku SMP di Indramayu, ia berbuat ulah hingga akhirnya dipindahkan ke Bekasi.

Kepindahannya tak membuatnya mejadi baik. Liong Bie justru makin nakal. Ya kenakalan anak remaja seusianya. Tahun 1993 kedua orang tuanya akhirnya sepakat untuk memindahkan Liong Bie ke pesantren.

Di pesantren tersebut meski hari-harinya dihabiskan untuk beribadah dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, namun Liong Bie tidak langsung berubah. Ia sempat merenungi nasibnya. Daya pikirnya menerawang jauh, kembali pada keadaan yang sempat membuatnya jauh turun kebawah. Rasa sesal sempat hinggap dalam raganya, namun hal itu hanya sesaat. Darah mudanya kembali mendidih, lantaran masih ingin mengenyam kenikmatan duniawi. Liong Bie kembali berontak.

Belum genap setengah tahun mengenyam pendidikan agama di pesantren tersebut, ia kembali bikin ulah. Kini guru pesantren yang menjadi sasaran kekesalannya. Beberapa kali bogem mentah Liong Bie bersarang ke muka gurunya. Merasa bersalah dengan apa yang telah diperbuatnya, Liong Bie memilih hengkang ke Bali.Dalam pencarian jati diri inilah perjalanan hidup seorang Liong Bie makin berliku.

Oleh : M Syahnoer

Tulisan Pernah Dimuat Di Harian POSMETRO JAKARTA